Minggu, 24 Juli 2011

Budpar RI Sosialisasi PNPM Wisata di Lembata


Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Republik Indonesia (RI) melalui konsultannya dari Pusat Studi Pariwisata Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, akan melakukan kegiatan rembuk warga guna mensosialisasikan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri bidang pariwisata di dua desa di Kabupaten Lembata. Kegiatan itu dilakukan selama dua hari yakni Jumat-Sabtu (21-22/7/2011).

“Konsultan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI sudah tiba di Lewoleba. Namanya, Pak Desta Titi Raharjana,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lembata, Wens Pukan, ketika dihubungi Pos Kupang dari Kupang, Kamis (21/7 2011).

Dikatakan, pada hari Kamis,  kegiatan rembuk warga dilangsungkan di Desa Belabaja, Kecamatan Nagawutun. Kemudian pada hari kedua di Desa Lamalera A, Kecamatan Wulandoni.

Menurut Wens, rembuk desa bertujuan mensosialisasikan manfaat PNPM Mandiri bidang pariwisata kepada masyarakat, kelompok, dan para pemangku kepentingan atau stakeholder. “Kita harapkan agar masyarakat, pemerintah desa, tokoh adat dan pendidikan, tokoh masyarakat, seniman, dan semua pihak bisa menghadiri kegiatan rembuk desa,” kata Wens.
Kepala Sub Bagian Perencanaan Program Dinas Pariwisata Lembata Dionisius Ola Wutun, S.E, menambahkan, kegiatan rembuk desa di Belabaja dan Lamalera A juga melihat sejauhamana kesiapan masyarakat menyambut kebijakan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI dalam memberdayakan masyarakat yang sadar terhadap pariwisata, seni dan budaya.

“Dalam pertemuan ini akan dibicarakan juga hal-hal teknis yang harus disiapkan masyarakat dan apara desa,” kata Dion dari Lewoleba, Rabu (20/7/2011). Ditambahkan, dalam kegiatan itu hadir fasilitator PNPM Mandiri Desa Belabaja,  Hieronimus Ksakel Klobor, S.E, dan fasilitator PNPM Mandiri Wisata Desa Lamalera A, John Oleona, S.H.

Pembahasan Bersama

Anggota Komisi X DPR RI asal NTT, Dr. Jefri Riwu Kore, mengemukakan, Desa Belabaja dan Lamalera A merupakan dua dari dua puluh enam desa di NTT yang mendapat bantuan langsung masyarakat atau bantuan desa wisata. Masing-masing desa mendapat alokasi dana sebanyak Rp 70-100 juta dengan total bantuan sebesar Rp 2,03 miliar.

“Bantuan ini merupakan hasil pembahasan bersama Komisi X DPR RI dan telah ditetapkan berdasarkan keputusan Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata tanggal 1 Februari 2011 lalu,” ujar Jefri Kore melalui telepon dari Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (20/7/2011).
Sebelumnya, menurut Dirjen Pengembangan Destinasi Wisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Ir. Firmansyah Rahim, sejak dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2007, setiap kementerian meluncurkan PNPM sektoral masing-masing.

Kementerian Kebudayaan dan Periwisata mengintegrasikan menjadi program PNPM Mandiri Parisiwata. Misinya, memberdayakan masyarakat, terutama warga kurang mampu di wilayah sekitar destinasi wisata atau desa-desa wisata di seluruh Indonesia.

Menurut Firmansyah, pada 2011 PNPM Mandiri Pariwisata sudah menjangkau 569 desa di 33 propinsi, dan program ini masih akan terus berlanjut.

“Untuk lebih menggerakkan usaha masyarakat di bidang pariwisata, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata juga bekerja sama dengan BRI dengan memberikan fasilitas pembiayaan melalui paket KUR (kredit usaha rakyat) yang dimulai pada tahun 2011 ini,” kata Firmansyah.
 Sumber: Pos Kupang, 22 Juli 2011
Ket foto: Cahyo Adjie, wartawan EVENGUIDE Jakarta berpose di depan kantor Desa Belabaja di sela-sela tugas jurnalistiknya di Lembata, Maret-April 2010 (gbr 1).

Salah satu sudut desa (gbr 2) dan para penari Sanggar Lima Lia bersiap menyambut para tamu dari Lewoleba, kota Kabupaten Lembata (gbr 3).
Foto-foto: dok. Ansel Deri

Senin, 30 Mei 2011

Pak Andreas Ua Asan dan Kelompok Tarulaga

Suatu hari di rembang malam di tahun 2005. Tanggal dan bulan saya lupa. Pertemuan itu sungguh mengesankan, meski cuma beberapa saat. Seorang tetua. Namanya Bapak Andereas Ua Asan. Pria yang sudah berusia sekitar 60 tahun ini masih terlihat segar bugar. Tubuhnya masih gempal. Berotot.

Wajahnya lebih muda dari usianya. Mungkin karena aktivitasnya sebagai petani di kampung, menjaga kesehatan jiwa dan raga serta menikmati kehidupan apa adanya.

Pertemuan itu mengesankan karena sudah lama kami tak jumpa. Meski kampung kami bertetangga, antarkami saling mengenal secara baik. Di masa kecil itu Pak Ande sering ke kampung karena ia seorang tukang kayu. Dari sanalah saya mengenalnya secara baik.

Awal pertemuan kami, Pak Ande bercerita banyak tentang kondisi di kampung. Ia mengatakan bahwa apa yang disebut perubahan itu sudah merambah ke kampungnya dan kampung saya.

"No, sekarang sudah banyak perubahan. Tiap hari oto (truk yang dimodifikasi menjadi angkutan penumpang) dari Lewoleba masuk (mengambil trayek) ke kampung. Orang sudah tak jalan kaki lagi ke Lewoleba," kisah Pak Ande Asan dengan antusias. 


Kisah "jalan kaki" ini sungguh mengingatkan saya dan siapa pun dari wilayah itu. Di masa itu mau tidak mau kami harus berjalan kaki sehari penuh ke Lewoleba, ibukota Kabupaten Lembata. Jaraknya cuma 35 kilometer, namun terkendala topografi wilayah berbukit-bukit dan medan yang curam. 

Belum lagi terkendala hujan dan banjir sepanjang jalan yang masih rintisan itu. Ada beberapa kali besar seperti Paugwali dan Waikomo yang harus kami lewati. Bila banjir datang, maka kami harus menunggu berjam-jam hingga reda. Tak ada pilihan memang. Kalaupun ada mobil, muatannya terbatas karena cuma satu atau dua unit yang mengambil trayek beberapa hari sekali.

Lelaki ini dalam perjalanan dari kampungnya Belabaja, Kecamatan Nagawutun, Lembata, menuju salah satu kota propinsi di Pulau Sumatera. Pak Ande bukan jalan sendirian. Ia diundang khusus LSM LAP Timoris untuk memberikan testimoni-nya seputar cara melestarikan alam yang selama ini ia lakukan. Hampir sepuluh tahun, LSM ini menaruh minat tak kecil seputar kelestarian alam di Lembata.

Di Sumatera ia akan bercerita seputar upaya Kelompok Tarulaga menjaga hutan dari gempuran api. Pak Ande pun berjanji setelah kembali akan menceritakan pengalaman unik nan menarik itu. Tapi, kami tak jumpa lagi hingga kini.

Sudah sekitar 30 tahun ini Pak Ande bersama anggota kelompok Tarulaga menyelamatkan ratusan bahkan ribuan hektar hutan di sekitar kaki Gunung Labalekan itu.

Kelompok ini dibentuk atas inisiatif sendiri. Bukan pula atas pesan sponsor. Bukan pula upaya mencari popularitas murahan untuk meraih sesuatu. Bukan pula ingin mendapat kucuran dana dari donatur atau pemerintah. Rasanya jauh dari spekulasi ini!

Yang ada adalah rasa cinta terhadap kampung halamannya.Yang ada adalah bagaimana ia membangun Kampung Belabaja dengan caranya.

Sehari-hari Pak Ande me-manage anggota kelompoknya ini untuk terus memantau "serbuan" api. Bila ada titik api, maka mereka segera ke lokasi untuk memadamkan api (rot ap). Atau membuat ilaran api agar tak merambah lebih luas lagi.

Ada begitu banyak kesulitan yang dialami Kelompok Tarulaga ini. Lahan yang luas itu tentu membuat mereka kesulitan dari segi personel dan kendala-kendala teknis lapangan lainnya. 


Dengan kondisi ini Pak Ande sudah tentu berkoordinasi dengan aparat desa dan masyarakat lain. Tapi belum banyak warga yang terpanggil. Ini soal keikhlasan hati meluangkan waktu.

Pak Ande bercerita bahwa orang-orang di kampung itu sering membakar lahan karena beberapa alasan. Pertama, untuk mendapat pakan ternak. Kedua, faktor kesengajaan, dan ketiga, karena maniak api.

Menurut Pak Ande, hal terakhir ini menjadi kebiasaan hampir semua penduduk di tanah Lembata yang merasa gembira tatkala melihat api "menjilat-jilat" lahan. Ketika api mulai merambah hutan, warga menunjukkan ekspresinya dengan berloncat-loncat kegirangan.


Sebuah ekspresi kegembiraan yang aneh. Menjadi sebuah ironi zaman. Sesuatu yang tak berbudaya ketika isu pemanasan global (global warming) menjadi topik bahasan di semua level kehidupan. Mudah-mudahan perilaku nyeleneh ini sudah perlahan berkurang.

Pak Ande mengatakan bahwa perlahan masyarakat mulai menyadari ikhwal pelestarian alam.

Kini sudah sekitar tiga dekade ini Pak Ande dan Kelompok Tarulaga "memproklamirkan" diri sebagai relawan alam. Sudah tiga puluh tahun ini, ketika isu pemanasan global masih menjadi topik diskusi pada kalangan terbatas, Pak Ande bersama anggota kelompoknya menunjukkan keberpihakan pada kelestarian alam secara serius.

Karena itu, kita patut menyampaikan penghargaan yang tinggi atas perjuangan, keuletan, kegigihan, dedikasi serta keberpihakan kelompok ini terhadap kelestarian alam di kaki gunung tertinggi di Lembata itu. Pak Ande dan Kelompok Tarulaga patut menjadi ikon isu pemanasan global. (Paul Burin)
Sumber: Pos Kupang, 19 September 2009
Ket foto: Andreas Ua Assan
Foto: dok. www.ansel-boto.blogspot.com

Selasa, 22 Maret 2011

Joseph Enga Alior, Terinspirasi ‘Si Burung Merak’ WS Rendra

Saban hari ia hidup di tengah ladang. Satu tugas lagi ia emban yakni sebagai Sekretaris Desa Belabaja, Nagawutun. Tapi di balik itu ia menyimpan potensi sebagai penyair. Sejumlah karya sastra berupa puisi dan drama tercipta dari tangannya.

Kluang hanya sebuah dusun kecil di kaki Gunung Labalekan, Desa Belabaja, Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Desa ini merupakan pemekaran dari desa induk, Labalimut.

Di sinilah sehari-hari Joseph Enga Alior menghabiskan hari-harinya bersama isteri, Rosalia Barek de Ona serta anak-anaknya Harto, Elisa Pute, Mardin, dan Pius Guma Topo.

Membersihkan kebun, memberi makan ternak, dan merawat tanaman niaga adalah rutinitasnya sebagai petani. Selain itu, ia masih mengabdikan diri sebagai sekretaris desa (sekdes) mendampingi Kepala Desa Paulus Genere Pattyona.

Berpuisi

Yos, begitu ia disapa, juga ternyata jago menciptakan puisi yang bisa dibacakan atau dilombakan. Ia juga bisa mengarang naskah drama untuk dipentaskan muda-mudi Katolik (Mudika) Paroki Boto di setiap stasi. Bersama istrinya, mereka kadang ikut sebagai pemerannya.

Jiwa bersastra ternyata sudah tertanam sejak kecil saat ia akrab dengan buku-buku sastra. Saat duduk di bangku SMA Kawula Karya Lewoleba, Lembata, kegemaran ini pun terus ia mantapkan.

Saat itu Yos berhasil menulis tiga drama: Banjir Dara di Lembah Argoni, Badai Perjalanan, dan Mawar Untuk Ibu. Ketiga dirampungkan dengan mudah karena ia sudah terbiasa menulis cerita pendek (cerpen).

“Saya membuat coretan-coretan kemudian merevisinya untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan punya nilai seni,” katanya. Kemampuan itu mengantarnya masuk sebagai staf redaksi Genta Kawula, majalah dinding sekolahnya.

Talenta yang dimilikinya terus dikembangkan selepas SMA. Yos malah makin memantapkan hobinya itu. Puisi yang ia tulis antara lain Untukmu Pahlawanku, Rintihan dari Suara Tak Bersuara, Cintaku Guruku, Suara, Buatmu Kasihku, Dalam Malam, dan Di Makam Ibu.

Begitu juga naskah cerpennya seperti Saat Senja Merapat dimuat Surat Kabar Mingguan (SKM) Sinar Pagi Minggu terbitan Jakarta. Cerpen ini, menurut Yos, melukiskan kisah cinta sepasang remaja dengan latar belakang Pantai Lewoleba, kota Kabupaten Lembata.

“Honor naskah cerpen ini Rp. 5.000. Teman-teman ketua RT dan RW menertawakan saya karena hanya dihadiai honor sebesar itu. Bagi saya tak ada masalah. Malah saya bangga karena cerpen seorang petani mendapat pengakuan kemudian dimuat,” katanya.

Sementara itu sejumlah naskah drama ia tulis berhasil dipentaskan oleh kelompok muda mudi Katolik (Mudika) Stasi Boto ke berbagai stasi di Paroki Boto seperti Puor, Atawai, Imulolong, Posiwatu dan sejumlah stasi di Paroki Mingar seperti Idalolong, Dekanat Lembata, Keuskupan Larantuka.

Tiga drama Banjir Dara dan Air Mata, Rintihan Anak Jalanan, dan Mawar Untukmu Ibu hasil karyanya dipentaskan mudika. Ia dan istrinya terlibat. “Dalam drama ini saya bertindak selaku sutradara sedangkan istri saya sebagai pemeran utama,” kenang Yos.

Kegigihan menggeluti puisi dan drama mengantar Yos meraih juara pertama lomba baca puisi tingkat kecamatan. Ia juga pernah keluar sebagai juara satu lomba baca Alkitab tingkat kabupaten pada perayaan HUT ke-3 Otonomi Daerah (Otda) Kabupaten Lembata di Lewoleba.

Komentator

Kemampuan putera pasangan Karolus Ketoj Alior dan Elisabeth Pute Tufaona ini tak sebatas itu. Ia juga termasuk komentator handal dalam berbagai even pertandingan bola kaki tingkat kecamatan.

Bahkan suara baritonnya mampu menghipnotis pentonton pertandingan bola kaki. Konsistensi di dunia tulis-menulis membuka cakrawala sang kades tentang makna karya sastra. Baginya, sastra itu sebuah dunia yang otonom, tak terikat. Ia hadir berdasarkan pengalaman.

“Penyair Libanon Khalil Gibran telah mengajarkan saya tentang kata-kata. ‘Aku ingin mengucapkan satu-dua patah kata yang hendak kuamanatkan sekarang. Namun, apabila ajal mencegahnya, amanat itu akan terucapkan Esok karena Esok tak kan menghilangkan sebuah rahasia pun dalam buku Keabadian.’ Begitu kata-kata Gibran dalam Sang Guru. Ini memantapkan saya dalam bersastra,” katanya.

Ternyata kemampuan menulis puisi dan mengarang naskah drama itu juga terinspirasi oleh seniman besar WS Rendra. Saat tinggal di Jakarta, ia sempat menyaksikan sastrawan dengan julukan Si Burung Merak, tampil membacakan puisi-puisinya di Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

“Beberapa kali saya sempat menonton Rendra tampil. Dari penyair besar ini saya banyak belajar bagaimana menciptakan puisi. Bagi saya Rendra adalah teks hidup. Ia menjadi kiblat dalam bersastra. Nah, kami di desa juga butuh mengeksplorasi jiwa seni kami meskipun dalam bentuk yang sederhana,” katanya.
Sumber: www.ansel-boto.blogspot.com
Ket foto: Joseph Enga Alior

Kamis, 10 Maret 2011

Panorama Alam Desa Belabaja, Nagawutun, Lembata

Salah satu sisi keindahan alam Desa Belabaja, Kecamatan Nagwutun, Kabupaten Lembata, NTT, yang diabadikan Ansel Deri, anak kampung Kluang Desa Belabaja pada Maret 2010 lalu.  Ia bersama rekannya, wartawan EVENGUIDE Cahyo Adji berkesempatan mampir di Belabaja sebelum melakukan tugas jurnalistik di Lamalera.

Ansel Deri, kini menetap di Jakarta dan bekerja membantu Pak Diaz Gwijangge, S.Sos sebagai Tenaga Ahli (A-558) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Sebelumnya, ia melakoni profesi wartawan di beberapa media terbitan Ibu Kota sebelum akhirnya masuk Gedung DPR/MPR Senayan Jakarta pada Oktober 2009.

Ansel, begitu ia disapa, menghabiskan masa kecilnya di kampung Kluang, Desa Belabaja (Boto). Pendidikan sekolah dasar hingga sekolah lanjutan pertama dilalui di SDK St Joseph Boto dan SMP Lamaholot Boto. Kuliah pada FKIP Undana Kupang tahun 1998.

Perjalanan jurnalistik di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk ke Lembata, membawa oleh-oleh hasil jepretan kameranya menghiasi akun facebook-nya. Termasuk gambar panorama alam desa Belabaja di atas. Gambar itu diabadikan di depan kantor desa Belabaja. (Joseph Enga Alior)


Rabu, 09 Maret 2011

Pemilu Kada Lembata dan Netralitas PNS

Oleh Bonne Pukan
Anak Lembata, tinggal di Penfui Kupang

"YTH. Anggota KPU dan Panwaslu Lembata. Tolong netral dalam Pemilu Kada Lembata. Atau Anda juga sama dengan birokrasi Lembata yang bekerja untuk paket tertentu? Ya, kita pilih pemimpin, bukan penguasa. Sebenarnya KPU dan Panwaslu juga tahu kalau mesin politik paket tertentu adalah birokrat yang bekerja secara sistematis. Sudah menjadi rahasia umum kalau kerja para PNS atau birokrat hanya untuk mengamankan mata rantai kedudukan mereka sekarang. Sayang, jangan kita hancurkan Lembata untuk kepentingan sesaat. Tetapi berkipralah ke semua rakyat secara obyektif. Tolong tindak tegas semua pejabat atau PNS yang berpolitik praktis atas nama paket tertentu. Tks."

Saya sengaja mengutip lengkap sebuah curhat yang dikirim pembaca setia Pos Kupang pada edisi, Rabu (23/2/2011), di awal tulisan saya ini. Curhat itu ternyata sarat makna karena pasti pengirim curhat sudah tahu gerak langkah sesama warga Lembata, baik masyarakat biasa maupun masyarakat Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Lembata dalam kaitan dengan proses pemilu kada yang sedang dimulai ini.

Orang Lembata tentu tahu betul, siapa saja pejabat dan PNS non pejabat yang getol sekali berjuang untuk paket tertentu. Dan orang Lembata juga tahu paket mana yang sedang diperjuangkan jajaran birokrat di Lembata. Bisa saja demi pengamanan diri dan jabatan pasca berakhirnya masa jabatan Drs. Andreas Duli Manuk dan Drs. Andreas Nula Liliweri pada tanggal 4 Agustus 2011 mendatang.

Ceritera berbagai pihak di Lembata, ternyata apa yang disampaikan pengirim curhat itu bukan hanya isu semata, tetapi memang demikian adanya. Di beberapa desa di Lembata, sudah sejak tahun lalu beberapa PNS dan pejabat birokrat berseliweran di sana untuk meminta dukungan bagi paket tertentu.

Ketika KPU Lembata membuka pendaftaran pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Lembata periode 2011-2016 sejak tanggal 9 hingga 15 Februari 2011, sedikitnya sebelas paket yang memanfaatkan kesempatan tersebut. Sebelas paket itu adalah Yohanes Lake-Simon Krova (JONSON), Antanasius Amuntoda-Bernadus Boli Hipir (SINAR), Herman Wutun-Viktus Murin (TITEN), Bediona Philipus-Fredy Wahon (LIRIK KUSPLUS), Lukas Witak-Muhidin Ishak (KASIH), Gabriel Tobi Sona-Gerardi Tukan (TITE HENA), Eliaser Yance Sunur-Viktor Mado Watun (LEMBATA BARU), Andreas Liliweri-Yoseph Meran (AYO), Frans Making-Usman Syarif (FIRMAN), Paulus Doni Ruing-Paulus Mujeng (PAPA NIMUN) dan Petrus Langoday-Ahmad Bumi (PETANI).

Dari kesebelas paket itu dua paket, masing-masing KASIH dan TITE HENA mendaftar melalui pintu independen, sedangkan sembilan paket lainnya melalui pintu partai politik, baik ber-seat maupun non seat.

Kalkulasi politik tentang peluang bagi paket-paket yang akan lolos menjadi paket definitif untuk sementara baru dua paket yakni Paket TITEN dan paket LEMBATA BARU. Pasalnya dua paket ini diusung oleh parpol yang sudah memenuhi syarat tanpa harus berkoalisi dengan partai lainnya. Paket TITEN diusung Partai Golkar dan Paket LEMBATA BARU diusung PDI Perjuangan yang masing-masingnya sudah memenuhi syarat maksimal 15 persen untuk mengajukan calon sendiri tanpa harus berkoalisi dengan parpol lainnya.

Sementara paket-paket lainnya masih harus bekerja keras untuk mempersatukan perjuangan berkoalisi dengan parpol lainnya. Dan itu menjadi tugas KPU Lembata ketika memverifikasi dukungan parpol pengusung mulai dari keputusan parpol masing-masing untuk berkoalisi mendukung paket tertentu hingga kesepakatan berkoalisi.

Mengaitkan dengan curhat di atas, sebuah pertanyaan akan muncul. Peran yang dimainkan birokrat dengan bekerja serius itu, arahnya ke figur yang mana? Jawabannya mudah saja. Kita akan mulai mengurut kacang siapa birokrat yang akan maju dalam pertarungan politik lima tahunan ini.

Kita akan mulai dari Paket AYO. Calon bupatinya adalah wakil bupati sekarang, Drs. Andreas Nula Liliweri. Berikutnya paket Antanasius Amuntoda-Bernadus Boli Hipir, keduanya masih PNS aktif dan pejabat di Lembata. Amuntoda salah satu staf ahli di Pemkab Lembata dan Boli Hipir adalah Asisten II Setda Lembata.

Lainnya Lukas Witak-Muhidin Ishak. Lukas masih menjabat Asisten III Setda Lembata, dan Muhidin mantan Asisten III yang sudah pensiun, serta Paulus Mudjeng yang kini menjadi salah satu pejabat di Dinas PU Kabupaten Lembata.

Jika hal yang dilakukan para pejabat itu untuk mengamankan posisi mereka seperti yang disampaikan pengirim curhat tersebut, maka pemikiran para pejabat itu ternyata sangat kerdil. Pasalnya, untuk menduduki sebuah jabatan di birokrasi, seorang birokrat diangkat berdasarkan kemampuan didukung dengan kepangkatan atau golongan.

Pertayaan lain yang muncul, mengapa para pejabat itu harus takut tergeser jika muncul pemimpin baru? Jawabannya akan beragam. Misalnya jabatan yang diperoleh selama ini bukan karena kemampuan didukung dengan golongan/pangkat yang melalui pertimbangan baperjakat, tetapi karena faktor kedekatan disertai dengan kepiawaian 'berhamba' pada sang tuan.

Jika seorang PNS dengan niat sungguh memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai bidang tugasnya masing-masing dan menjalankan tugas pelayanan itu dengan sungguh-sungguh, maka jabatan di lingkup birokrasi pasti akan diperolehnya. Beda dengan PNS yang suka berhamba, mencium tangan sang tuan berulang-ulang kali sambil membuang puntung rokok dalam asbak yang sudah penuh sambil berjalan tunduk hingga nyaris mencium lututnya sendiri, serta menjilat ke atas, ke bawah dan ke samping kiri dan kanan.

Siapa yang Tereliminir

Setelah pendaftaran pasangan bakal calon bupati dan Wakil Bupati Lembata, sebelas pasang itu kemudian melakukan pemeriksaan kesehatan di RSUD Prof. WZ Johannes Kupang pertengahan Februari lalu. RSU milik Pemerintah Propinsi NTT dipilih KPU Lembata sebagai tempat pemeriksaan kesehatan bersama tim dokternya.

Usai pemeriksaan, terbetik kabar, ada bakal calon entah bupati atau wakil bupati yang bakal kandas karena hasil pemeriksaan kesehatan menunjukkan tidak cukup sehat alias tidak memenuhi syarat dari segi kesehatan untuk menjadi calon bupati atau wakil bupati. Lalu ada upaya untuk melalukan pemeriksaan ulang di rumah sakit lain sebagai bahan pembanding atas pemeriksaan di RSUD Kupang.

Kabar burung itu ternyata mendekati kebenaran, ketika Juru bicara KPU Lembata, Satria Betekeneng, menegaskan, pemeriksaan kesehatan terhadap bakal calon bupati dan wakil bupati hanya satu kali dan bersifat final. Artinya tidak ada pemeriksaan kedua, apalagi pemeriksaan di tempat lain untuk dijadikan sebagai bahan pembanding (Pos Kupang, Selasa, 1/3/2011).

Penegasan Betekeneng itu sontak membuka tabir kebenaran kabar burung tersebut. Masyarakat Lembata, terutama tim-tim sukses pasangan calon yang tidak lolos pemeriksaan kesehatan itu mulai ketar ketir. Lebih parah lagi kalau tim sukses itu ada yang PNS dan pejabat, yang selama ini sudah berani 'jual tampang' dari desa ke desa dan bukan rahasia lagi bagi masyarakat Lembata.

Itu baru pemeriksaan kesehatan. KPU Lembata sudah menjadwalkan akan mengumumkan dan menetapkan paket calon di penghujung Maret ini. Bisa saja ada yang gugur. Gugurnya pasangan calon itu antara lain tidak memenuhi syarat seperti yang digariskan peraturan perundang-undangan.

Rasa cemas juga mulai menghantui pasangan calon lain, terutama pasangan yang diusulkan oleh gabungan partai politik. Bagi Partai Golkar (Paket TITEN) dan PDI Perjuangan (Paket LEMBATA BARU), jalan terbuka menuju calon tetap sudah terbuka lebar karena tidak berkoalisi. Kedua parpol ini sudah memenuhi batas minimal 15 persen perolehan suara pada pemilu legislatif 2009 lalu, karena masing-masing parpol ini memiliki 4 kursi legislatif.

Berada di urutan berikutnya, paket yang juga diprediksikan tidak menemui hambatan dalam koalisi adalah paket SINAR yang diusung PPDI dan PAN, paket JONSON yang diusung PKB dan PDK serta paket AYO yang didukung Demokrat, PKS dan PBR. Ketiga paket ini juga hampir pasti lolos karena koalisi parpol itu jelas, namun belum tentu karena bisa saja terjadi pendobelan dukungan dari parpol.

Paket lainnya seperti LIRIK KUSPLUS, FIRMAN, PAPA NIMUN dan PETANI kini terus berdoa semoga tidak ada 'pengkhianatan' dalam memberikan dukungan. Sebab, bahaya yang paling ditakuti adalah ada parpol yang bermain ganda, artinya memberikan dukungan kepada beberapa paket.

Namun semuanya ini kembali kepada penyelenggaran Pemilu Kada Lembata yakni KPU Lembata. Mereka akan bermain di jalur yang benar, karena tidak ingin terjerembab dalam kasus yang dialami di kabupaten tetangga, Flotim yang hingga kini masih terkatung-katung karena 'salah urus'.

Masyarakat Lembata tentu berharap, semua yang berkaitan dengan pemilu kada di Lembata harus dilakukan sesuai aturan hukum yang ada. Rekayasa hendaknya dijauhkan jika ingin menghasilkan pemimpin Lembata lima tahun ke depan yang lebih baik dari sebelumnya.

Harapan masyarakat kini sedang berada di pundak KPU Lembata yang dikomandani Wilhelmus Panda. Kita tunggu, paket mana yang lolos untuk berperang, dan pada akhirnya paket mana yang akan dipercayakan Tuhan dan Lewotana untuk memimpin daerah ini. Bermain di ranah politik lima tahunan ini, masyarakat sudah sangat pintar. Mereka tentu menginginkan pemimpin yang mampu, jujur dan mampu membawa perubahan untuk mereka dan daerah mereka.
Sumber: Pos Kupang, 9 Maret 2011

Rabu, 02 Maret 2011

Misa Syukur 25 Tahun: ‘Perang’ Menyambut Sang Jubilaris

Ratusan umat Paroki St Joseph Boto, Lembata, Keuskupan Larantuka, NTT, tumpah di beranda kampung Boto, Sabtu, 3 Juli 2010. Mereka menyambut Pastor Petrus Payong, SVD untuk merayakan Misa Syukur 25 Tahun Imamat.

Pada sore yang cerah itu, ratusan umat sudah memadati kampung di lereng Gunung Labalekan dalam balutan panorama alam dan udara pegunungan yang sejuk. Mereka datang dari berbagai stasi seperti Puor, Imulolong, Posiwatu, Atawai, Liwulagang, Lamalewar, Bata, dan Belame di selatan Pulau Lembata.

Saat itu, jubilaris disambut dengan hedung, tari perang khas Adonara dan urulele serta namang –tari tradisional. Dua bersaudara: Korfandus Boge Ketoj dan Blasius Wurin Ketoj bersama tim penari menyuguhkan gerak yang indah.

Sembari berjalan kaki, mereka bergerak menuju gereja. Di tengah jalan, Pater Piet sejenak berdoa di kompleks pemakaman umum di pinggir kampung.

Pada Minggu, (4/7), Pater Piet mempersembahkan Misa bertema Syukur Atas Kasih Setia dan Karya Agung Allah. Tampil sebagai selebran utama, ia didampingi 12 imam. Antara lain Sinyo da Gomez, Pr, Piet Dua Maing, Pr, Yohanes Prasong, SVD, Florianus Faor Wujon, Pr, Patrisius Breket Mudaj, SSCC, Tarsisius Tupeng, Pr, Pastor Kristo, SVD, Stefanus Smata Pukan, SVD, Ignasius Ledot Kobun, SVD, Karolus Emi Wadan, SVD, Robertus Laga Manu Sakeng, Pr, dan lain-lain.

Sejumlah suster, bruder, dan frater juga ambil bagian dalam Misa. Antara lain, Sr Maria Theresiani, SND, Sr Maria Sipriana, PRR, Sr Maria Goreti Kobun, SSpS, Sr Erenberta de Ona, SSpS, Br Dominikus Doron Botoor, SVD, Fr Niko Lamak, CMM, dan sejumlah frater lain.
Imam Abadi

Dalam kotbahnya, Pastor Yohanes Prasong, SVD mengemukakan, kehadiran umat dalam Misa ini bertujuan mengucap syukur kepada Tuhan selama 25 tahun pengabdian Pater Piet Payong, SVD sebagai imam.

“Kita bergembira, berpesta sekaligus bersyukur atas kesetiaan Tuhan yang dilimpahkan kepada Pater Pieter sebagai imam selama 25 tahun. Tema yang mau kita renungkan adalah engkaulah imam untuk selamanya. Imam sampai kekal, sampai keabadian seperti Kristus,” ujar Pater Yan Prasong, sapaan akrab Pastor Yohanes Prasong, SVD.

Ia meminta agar dalam Misa, umat juga berdoa agar pengabdian itu tidak hanya sampai 50 tahun tetapi sampai kekal. Jika dikaitkan 2010 sebagai Tahun Imam, kita kembali melihat identitas seorang imam. Siapa itu imam dan apa tugas-tugasnya.
“Seorang imam mengambil bagian dalam Imamat Kristus yang satu-satunya. Imam yang benar adalah Kristus sendiri. Sedangkan yang lainnya adalah pelayan. Kurban yang benar adalah satu yaitu kurban Kristus di Salib,” kata Pater Yan.

Sekalipun kurban Kristus adalah unik, yang dilaksanakan hanya satu kali dan untuk selamanya namun kehadirannya ada pada setiap kurban ekaristi gereja. Demikian pula berlaku, imamat Kristus adalah imamat yang satu-satunya namun dihadirkan pula oleh imamat jabatan tanpa menghilangkan keunikan imamat Kristus.

Karena itulah, imamat Kristus yang benar dan yang lain adalah pelayannya (Ibrani: 7:4). Maka seorang imam adalah dalam beberapa poin berikut. Seorang imam tampil sebagai pelayan atas nama Kristus sebagai kepala tubuh mistik Kristus.

Di sela-sela Misa, Pater Piet membaharui diri dan mengungkapkan janji imamat serta kaul-kaul kebiaraan. “Di hadapan Tuhan dan umat sekalian yang hadir saya, Pastor Petrus Payong, SVD memutuskan dengan mantap untuk membaktikan seluruh hidup saya untuk Allah dan mengikuti Yesus Kristus, Sang Imam Abadi dan misionaris Bapa dengan mengabdi gereja-Nya yang Kudus dalam bentuk kehidupan menurut Injil,” ujarnya.

Pater Piet Payong SVD mengenyam pendidikan SD–SMP di Lembata. Ia kemudian menyelesaikan studi pada STFK Ledalero, Maumere, Flores. Pada 1 Juni 1985, ditahbiskan menjadi imam di Gereja St Maria dari Kanak-Kanak Yesus Kiwangona, Adonara. Motto tahbisan diambil dari Injil Lukas Pasal 21:19, “…..Ikutilah Aku….

Setelah ditahbiskan, ia diutus sebagai misionaris di Mindanao, Filipina. Saat merayakan Misa Syukur Imamat, ia menjabat Pastor Paroki St Maria Parish, Trenyo, Agusan del Sur, Filipina
Sumber: HATI BARU edisi Oktober 2010
Ket foto: Korfandus Boge Ketoj dan para penari (gbr 1) menyambut Pastor Piet Payong SVD
(gbr 2) dan ayahnya, Fransiskus Ola Ebang di gerbang masuk Boto.

Sosok Bersahaja Dua Petani di Kluang

Ini adalah sosok petani Petrus Samong Mudaj dan Wilhelmus Pati Mudaj. Saban hari mereka selalu mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi baik dalam keluarga maupun di komunitas sukunya di kampung Kluang, Desa Belabaja (Boto), Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur.

Dalam menghadapi masalah suku, keduanya tak sekadar bicara. Mereka juga kut memikirkan jalan keluar terbaik bagi komunitas sukunya.


Dulu, dalam urusan di komunitas sukunya kedua orang ini selalu didengar pikirannya. Karena itu, segala urusan di dalam komunitas suku berjalan lancar.

Petrus Samong menikah dengan Ibu Maria Ose Klobor. Keduanya dikaruniai sembilan anak dan 14 cucu. Dua dari sembilan anaknya bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Lembata.

Ibu Maria berasal dari Dusun Belabaja (masih di Boto). Ia adalah putri sulung Hilarius Paty Klobor dan Ana Lepang Paty Atawua. Keduanya sudah lama menghadap Sang Khalik.
Sedangkan sosok Wilhelmus Pati Ago Mudaj menikah dengan Ursula Erin Pattyona (alm). Mereka diaruniai seorang anak: Mateus Bala Mudaj dan tiga cucu: Rini, Ago, dan Miki. Nene Sula, begitu kami menyapa, berasal dari Desa Puor, Kecamatan Wulandoni.

Namun, kabar mengejutkan saya terima akhir Desember 2009 lalu. Tepatnya pada 26 Desember Wilhelmus Pati meninggal dunia. Ia menyusul Ursula Erin Pattyona, sang istri yang telah meninggal dunia.
Ket foto: Petrus Samong Mudaj dan (alm) Wilhelmus Pati Mudaj di dusun Kluang, Desa Belabaja, Lembata, NTT.

Selasa, 01 Maret 2011

Aloysius Ola Pukan dan Aloysia Kewa de Ona: Saatnya Menuai

Pasangan Aloysius Ola Pukan dan Aloysia Kewa de Ona hanyalah petani tradisonal di Lembata, Nusa Tenggara Timur. Namun, delapan dari sembilan anaknya meraih sarjana. Seorang di antaranya menjadi pastor.

Meski telah memasuki masa senja, Aloysus dan Aloysia masih masih energik. Selama puluhan tahun mereka mengandalkan hidup dari ladang dengan sistem tebas bakar. Warga Dusun Kluang, Desa Belabaja di Pulau Lembata ini mendidik anak-anak mereka dengan memberi contoh. Bukan sekadar kata-kata.

Sebagai orangtua yang bertanggungjawab, mereka membina dan mengarahkan anak-anaknya agar tekun menimba ilmu demi masa depan. Doa dan permohonan kepada Tuhan serta devosi kepada Bunda Maria yang terus-menerus membuahkan hasil.

Anak sulung mereka Payong Pukan Martinus kini menjadi Kepala Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Lembata. Sedang tujuh mereka lainnya juga berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dan bertugas di NTT. Sedangkan seorang anak mereka, Stef Smata Pukan, memilih menjadi imam Serikat Sabda Allah (SVD). Kini Pastor Stef menjadi misionaris di uar negeri. Sebelumnya, ia sempat berkarya di Keuskupan Ruteng, Manggarai, Flores.

Menurut Aloysius, anak adalah permata dan titipan Tuhan yang perlu dirawat, didik dan dibesarkan menurut tradisi iman Katolik. Dengan demikian, kelak mereka bisa berguna bagi Gereja, bangsa, dan negara. “Tugas orang tua adalah mengantar anak-anaknya untuk menyongsong masa depan yang cerah,” tandasnya.

Aloysius dan Aloysia sadar, keberhasilan membimbing dan mengarahkan anak-anaknya meraih masa depan mereka tidak bisa lepas dari ketekunan berdevosi kepada Bunda Maria.

“Saat seorang anak saya minggat dari sekolah dan suka keluyuran ke hutan mencari ayam hutan, saya bingung. Saya harus keluar masuk hutan mencarinya hingga ia bisa masuk sekolah kembali. Saya hanya meminta bantuan Bunda Maria agar anak saya disadarkan,” kenang Aloysius. Lalu, ia mencarinya keluar masuk hutan agar anaknya mau masuk sekolah lagi. “Saya meminta bantuan Bunda Maria agar anak saya ini disadarkan,” ungkapnya.

Penuh Perjuangan

Aloysiua mengenang masa mudanya yang penuh perjuangan. Ketika usianya memasuki 25 tahun, ibunya menyarankan agar ia segera mencari menyunting gadis desanya untuk menjadi pendamping hidup. Sang ibu khawatir ia menjadi bujang lapuk.

Awalnya, Aloysius menolak. Ia beralasan, sang ayah yang menjadi sandaran hidup keluarga telah meninggal dunia. Apalagi, urusan pernikahan pasti membutuhkan dana yang tidak sedikt. Almahrum ayahnya hanya seorang petani kecil yang tidak mewariskan harta yang cukup. Dan yang Aloysius merasa khawatir adalah karena ia tidak mempunyai pekerjaan tetap.

Aloysius merenungkan kembali kata-kata ibunya yang terus-menerus menganjurkan agar ia segera menikah. “Seandainya sudah ada pekerjaan, sekecil apapun penghasilan, bisa memberikan jaminan untuk menafkahi istri dan anak-anak,” katanya berandai-andai.

Selama beberapa waktu Aloysius menimbang-nimbang nasihat ibunya. “Barangkali Mama akan bahagia kalau melihat saya berumah tangga,” simpulnya.

Lalu, Aloysius berusaha agar bisa memperoleh pekerjaan tetap. Dengan demikian ia bisa mewujudkan keinginan ibunya. Setelah itu, ia mulai membidik gadis desanya, Aloysia Kewa de Ona. Gadis sederhana itu menawan hatinya. Mula-mula ia menulis surat kepada Aloysia untuk mengungkapkan isi hati sekaligus perasaan cintanya. Namun, jawaban surat Aloysia membuatnya kecewa. Gadis itu menolak cinta Aloysius!

Penyebabnya, orangtua Aloysia tidak berkenan melihat watak Aloysius yang dinilai kasar dan keras. Awalnya, orangtua Aloysia menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Aloysius. Kemudian dengan terus terang mereka mengingatkan Aloysius agar tidak boleh main gila dengan putrinya. “Kalau memang benar-benar saya mencintai anaknya, saya harus menghadap keluarganya,” kenang Aloysius.

Karena merasa diancam oleh keluarga Aloysia, Aloysius mengungsi ke Lamalewar, kampung tetangganya. Selama dua minggu ia bertahan di Lamalewar. Selama dua minggu ia bertahan di sana dan rajin mengikuti kebaktian mingguan. Sekembali dari Lamalewar, sang ibu mendatangi rumah orangtua Aloysia. Ia menyampaikan kesungguhan niat Aloysius mempersunting Aloysia.

Setelah melintasi masa pacaran, tahun 1948, kedua sejoli yang dimaduk asmara itu menyatakan akan menjadi pasangan suami-istri. Namun, pernikahan itu sempat tertunda selama dua tahun.

Aloysius memutuskan untuk merantau terlebih dahulu ke Kupang selama beberapa waktu. Setelah mempertimbangkan kembali hingga matang, akhirnya tahun 1950 pasangan Aloysius dan Aloysia saling menerimakan Sakramen Perkawinan di Gereja St. Joseph Boto. Janji saling setia pun berkumandang di hadapan Pastor Bernard Bode, SVD. Saat itu, imam asal Jerman itu berkarya di Paroki Lamalera.

Jatuh Sakit

Di awal menjalani kehidupan rumah tangga, Aloysus mengalami cobaan besar. Tahun 1951, ketika anak pertamanya lahir, Alo jatuh sakit. Selama lima tahun ia hanya terbaring di atas tempat tidur karena pendarahan. Dari hidungnya selalu mengalir darah segar. “Saya serahkan hidup dan mati saya kepada Bunda Maria. Selama itu, saya pertaruhkan hidup saya hanya kepada Bunda Maria dan Hati Kudus Yesus. Setiap malam saya berdoa Rosario,” kenang Aloysius.

Dalam situasi yang serba sulit, ia hanya bisa berpasrah. Ia serahkan penderitaan pada kebesaran Tuhan dan Bunda Maria. Ia berpikir, kalau benar-benar Tuhan memanggil dirinya, maka ia menyerahkan diri sepenuh hati. Dalam kondisi demikian, ia teringat pesan Almahrum ayahnya bahwa meminta berkat dan rahmat dari Tuhan dan Bunda Maria, bukan hanya sekali atau dua kali. Hal itu harus dilakukan terus-menerus. “Menurut ayah saya, kalau hal itu kita lakukan terus-menerus akan ada mujizat dalam hidup kita,” sitir Aloysus.

Ternyata, pesan ayahnya bukan omong kosong belaka. Keajaiban Tuhan dan Bunda Maria sungguh ia rasakan. “Doa Rosario yang kami lakukan setiap malam ternyata sangat ampuh. Bunda Maria mendengar doa dan permohonan saya atas penderitaan saya,” kata Aloysius menegaskan.

Nyatanya, usahanya mendatangi orang-orang di desa tetangga untuk membantu menyembuhkan pendarahan yang menimpanya dibarengi dengan doa, tidaklah sia-sia.

Makin dekat

Kesembuhan dari penyakit pendarahan selama bertahun-tahun membuat Aloysius makin dekat dengan Tuhan dan Bunda Maria. Sejak itu, ia kian menghidupkan devosi kepada Bunda Maria dan keluarga kudus dari Nazareth. Tak ada hari terlampaui tanpa berdoa dengan perantaraan Bunda Maria.

Padahal, untuk berdoa dan berdevosi saat itu mereka menghadapi sedikit kendala. Gambar-gambar suci Bunda Maria, Tuhan Yesus, dan Santu Yoseph merupakan barang langka saat itu. Kalau pun ia memilikinya, gambar suci itu makin buram. Warnanya telah pudar.

Aloysius tak kehilangan akal. Syukurlah, ia bisa menggambar ala kadarnya. Dengan sedikit keahlian menggambar, Aloysius pun menggambar sendiri wajah Bunda Maria, Tuhan Yesus, dan Santu Yosep. Lalu, gambar-gambar itu, ia letakkan di pojok kamar keluarganya. “Gambar itu menjadi salah satu sarana kami untuk berdoa bersama-sama,” imbuh Aloysius.

Tak hanya itu. Aloysius juga mengukir patung Bunda Maria dan Tuhan Yesus yang tergantung di salib. Ia berusaha semampu mungkin agar patung bikinannya bisa mirip dengan wajah Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang ia lihat di gambar-gambar. Setelah patung-patung itu jadi, ia tak ragu membawanya ke Pastor Paroki Boto untuk diberkati. “Semua itu menjadi sarana kami berdoa,” tambahnya lagi.

Sejak anak-anak masih kecil, Aloysius dan Aloysia sudah membiasakan mereka berdoa. Setiap malam mereka selalu berdoa bersama. Begitu juga setiap pagi mereka selalu mengawali aktivitas harian dengan berdoa. Sejak Aloysius masih muda, ia sudah berharap agar Tuhan berkenan memanggil putra sulungnya untuk berkarya di ladang-Nya. "Toh, Tuhan mempunyai rencana lain. Bukan anak pertama yang dipanggil-Nya menjadi imam tetapi justru putra ketujuh.”

Bagi Aloysius dan Aloysia, doa dan kerja merupakan dua hal yang penting yang selalu seiring sejalan. Mereka selalu menegaskan kepada anak-anak agar kapan pun dan di mana pun, selalu mengawali dan mengakhiri tugas masing-masing dengan doa. “Selain itu, disiplin dalam bertugas juga kami tanamkan kepada mereka dalam segala aktivitas mereka,” tandas Aloysius.

Tak mengherankan, seiring waktu yang bergulir, anak-anaknya berhasil menamatkan pendidikan tinggi. Dan, mereka bias menempati posisi yang baik sebagai Pegawai Negeri Sipil. “Saat ini, kami seperti menuai apa yang dulu kami tabur,” tandas Aloysius.

Hingga kini di usia senja, pasangan Aloysius dan Aloysia tetap menggarap lahan mereka. Meski anak-anak mereka telah berhasil, mereka tak mau merepotkan. Dan, hingga kini pula Aloysius dan Aloysia tetap mengawali dan mengakhiri aktivitas keseharian mereka dengan doa.
Sumber: HIDUP No. 19 Tahun ke-61 tanggal 13 Mei 2007

Belabaja Dapat Bantuan PNPM Desa Wisata 2011

Kluang-Desa Belabaja, Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur mendapat bantuan dana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pariwisata Tahun Anggaran 2011 dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) Republik Indonesia.

Kepala Desa Belabaja Alfons Prawin Pukan mengemukakan hal itu dalam keterangannya kepada media ini melalui telepon selular (handphone) dari kantor Desa Belabaja, Dusun Kluang, Lembata, Rabu, 1/3 2011 siang.

“Beberapa waktu lalu Pak Kepala Dinas Pariwisata Lembata bersama staf tiba di Kluang, guna bersama-sama masyarakat mempersiapkan pembentukan kelompok  masyarakat dalam menyambut program bantuan tersebut. Ini menjadi kebanggaan bagi kami masyarakat di kampung karena pemerintah care dengan kami,” ujar Alfons Prawin.

Sebelumnya, menurut Prawin, pihaknya mendapat informasi desa Belabaja dan Lamalera A di Lembata merupakan dua dari 27 desa di Propinsi NTT masuk dalam rencana wilayah sasaran PNPM Mandiri Pariwisata Tahun Anggaran 2011 dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.

Informasi itu dikemukakan anggota Komisi X DPR RI asal NTT Dr Jefirston Riwu Kore, MM usai mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) komisinya dengan jajaran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yang dipimpin Menteri Jero Wacik di Ruang Rapat Komisi X, Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin 13/12 2010) malam.

Menurut Jefri, informasi yang diterima menyebutkan bahwa Tahun Anggaran 2011, sebanyak 27 desa di NTT mendapat alokasi anggaran PNPM Mandiri Desa Wisata.

“Ini merupakan berita baik dalam rangka ikut memajukan dan mengembangkan pariwisata Nusa Tenggara Timur,” ujar Jefri Kore kepada wartawan usai menghadiri Rapat Paripurna DPR di Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta, Selasa (14/12 2010).

Menurut legislator yang juga membidang masalah pariwisata, 27 desa tersebut tersebar di 11 kabupaten/kota. Desa-desa di 27 kabupaten yaitu Desa Koposili, Pemo, dan Nduaria di Kecamatan Kelimutu dan Desa Wologai Tengah di Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende.

Kemudian Desa Wae Sano, Cunca Lolos, dan Liang Dara di Kecamatan Sononggoang dan Desa Labuan Bajo, Komodo, Pasir Panjang, Desa Batu Cermin di Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat. Kemudian Desa Satarlenda, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai dan Desa Nangalabang, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur.

Di Lembata adalah Desa Belabaja, Kecamatan Nagawutun dan Desa Lamalera A di Kecamatan Wulandoni. Sementara itu di Kabupaten Flores Timur adalah Desa Sinar Hadung dan Desa Bantala, Kecamatan Tanjung Bunga.

Sementara Kota Kupang kebagian satu desa yaitu Desa Lasiana, Kecamatan Kelapa Lima. Di Kabupaten Rote Ndao masing-masing Desa Nembrala dan Boa di Kecamatan Rote Barat. Sementara itu Kecamatan Kakolo Mesak, Kabupaten Belu adalah Desa Fatuketi, Kenebibi, dan Dua Laos.

Kemudian Desa Rindi di Kecamatan Rindi Umalulu dan Desa Londa Lima di Kecamatan Panda Wai, Kabupaten Sumba Timur. Juga Desa Fatumnasi dan Boto di Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengemukakan, PNPM Mandiri Bidang Pariwisata Tahun Anggaran 2011 didukung anggaran sebesar Rp. 61,7 miliar untuk mengembangkan 569 desa wisata di 33 propinsi.

“Jumlah ini mengalami peningkatan anggaran sebesar 315,19 persen dibandingkan tahun 2010 sebesar Rp. 19.575.000.000 untuk 200 desa wisata di 29 propinsi di Indonesia,” kata Jero Wacik.

Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Tahun Anggaran 2011 mengalokasikan anggaran penataan dan pembangunan pariwisata melalui Program Peningkatan Penyiapan Infrastruktur untuk Penambahan Destinasi Wisata dengan dukungan anggaran sebesar Rp. 4 miliar untuk 12 destinasi wisata di kabupaten/kota seluruh Indonesia. (Joze Sanga, kepala dusun B Desa Belabaja)
Ket foto: Kepala Desa Belabaja, Alfons Prawin Pukan

Nikodemus Langin Wuwur, Dari Koster ke Koster

Setiap awal bulan Nikodemus Langin Wuwur membawa klombu (kantong terigu) mengambil bulgur. Bulgur itu adalah gajinya sebagai koster.

Suatu malam pada 2005, Nikodemus Langin Wuwur didatangi Ketua Dewan Stasi Boto, Paroki St Joseph Boto, yaitu Apolonaris Dua Baon. Ia diminta kesediaannya menjadi koster. Tugasnya, membantu Pastor Paroki Boto untuk membantu persiapan Misa, baik di gereja atau lingkungan.

Ia sempat menolak dalam hati. Ia pernah menjalani tugas sebagai koster sejak masih muda hingga berumah tangga. Karena itu, ia berpikir tugas koster sudah saatnya beralih kepada orang lain. Minimal, muda-mudi Katolik (Mudika) Stasi Boto.

Ia menyarankan perlu ada regenerasi dalam tugas sebagai koster. Ia sendiri pernah menjadi Ketua Mudika Paroki dan Stasi Boto beberapa periode. “Saya juga menjadi pemain gitar untuk mengiring koor saat berlangsung Misa di gereja,” cerita Demus Langin, sapaan akrab Nikodemus Langin Wuwur.

Namun dalam hatinya ia merasa berdosa menolak tugas mulia ini. Istrinya, Magdalena Pukan, justru mendorongnya agar menerima tugas itu. Begitu pula keluarga dekatnya, Bernardus Buga Wuwur, yang saat itu hadir menemaninya saat menerima Apolo Baon. Ia akhirnya bersedia.

“Saat menerima tugas itu saya tidak merasa terbebani. Dalam hati saya bahwa tugas ini cuma pengabdian sehingga mesti diterima dalam suasana hati yang lapang. Apalagi, istri saya juga mendorong saya untuk menerima tugas itu. Lucunya, tak diberitahu batas waktu jadi koster. Semua itu saya lakukan karena panggilan. Tak ada gaji tetapi pada akhir tahun diberi Rp. 200 ribu sebagai tanda terima kasih,” cerita Demus Langin.

Bergaji Bulgur

Jauh sebelum itu, Demus Langin juga dikenal sebagai aktivis Paroki Boto. Pada tahun 1962 – 1963 ia sudah menjadi koster melalui serangkaian test. Pastor Paroki Boto, Pastor Jan Knoor, SVD melakukan test bagi para calon. Misalnya, kemampuan bahasa Latin atau menghafal doa-doa harian berbahasa Latin. Nah, Demus Langin termasuk salah satu yang lolos.

“Setelah lolos, saya jadi koster bersama beberapa teman. Saat itu kami digaji dengan bulgur. Setiap awal bulan kami membawa klombu untuk ambil bulgur di pastoran. Bulgur itu warnanya mirip beras merah dan kalau dimakan rasanya agak kasar. Katanya orang barat pake untuk makanan babi. Selain bulgur, pas Natal atau Paskah Pastor Jan beri kami buku tulis dan obat-obatan,” kenang Demus Langin.

Ia juga termasuk pemain gitar handal tahun 1978 - 1983. Keahlian itu ia dapat dari Martinus Payong Pukan yang kala itu menjadi guru di SMP Lamaholot Boto. Namun, setelah Payong Pukan pindah ke Lewoleba, poisisinya beralih ke tangan Martin Wato Pukan sebelum akhirnya ia ambil alih. “Kami sangat senang karena gitar itu dihadiakan Sr Almaria SSpS. Suster ini orang Jerman yang bertugas di susteran SSpS Boto. Sr Dorotildis SSpS yang selalu setia mengeluarkan dan mengamankan kembali di gudang usai digunakan di gereja,” cerita Demus Langin.

Memerankan Jesus

Badannya yang agak kurus membuat Demus Langin dipercayakan rekan-rekan Mudika Stasi Boto menjadi pemeran tokoh Yesus Dalam drama Kisah Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus saat Upacara Jalan Salib. Tak hanya itu. Pada periode 1980 – 1982, ia masih dipercayakan sebagai Ketua Mudika Stasi dan Paroki Boto. Ia juga mengisahkan pengalaman pribadinya saat memutuskan menikah.

“Semua perlengkapan pengantin hingga acara di gereja dan ramah tamah di rumah saya ditanggung para suster SSpS Boto. Belanja minyak tanah pun mereka yang atur. Ya, ini mungkin karena saya dan calon istri sudah aktif di Mudika. Rekan kami, Valens Batafor menjahit pakaian penganti saya. Sedangkan suster menyiapkan gaun pengantin, tempat tidur, sprei, dan sarung bantal. Tempat tidur pengantin itu dibuat tukangnya dalam waktu singkat,” katanya.

Ia mengaku, meski rekan-rekannya di Mudika dulu sibuk dengan tugas masing-masing, toh mereka masih saling memberikan dukungan. Valens Batafor, misalnya, hanya bertahan dengan satu kaki karena ditabrak sebuah truk di stasi Belang beberapa tahun lalu. Kini Valens adalah guru SMP Lamaholot Boto. Sedangkan, rekan lainnya Suster Helena, SSpS, kini pimpinan rumah tangga SSpS Balela, Larantuka, Flores Timur. Begitu juga Lazarus Baon, kini camat Nagawutun, Lembata.

Bekas penjaga gawang keseblasan Desa Labalimut (Boto) ini juga pernah menjadi buruh migran di negeri Jiran Malaysia tahun 1999 - 2000. Hasilnya, ia bisa membangun rumah permanen di kampungnya. Ia juga menyekolahkan ketiga anaknya. Anak pertama, Fransiska Xaveria Nogo Wuwur tamat SMAN 1 Lewoleba dan kini tenaga kontrak di Lembata. Anak kedua, Theresia Paskalina Kemoung Wuwur, siswi SMAN 1 Lewoleba, dan Gertrudis Kenuka Wuwur, siswi SMP Negeri Nagawutun 2 di Boto.

Saat ini, Demus Langin mengaku enjoy dengan tugas sebagai koster. Ia bisa membantu Pastor Piet Maing Pr setelah Pastor Yan Sasi Pr dipindahkan ke Larantuka. Namun, ia masih gelisah dengan peran Mudika yang masih jauh dari harapan. Terutama keterlibatan dalam hal-hal rohani. Justru yang nampak lebih banyak orangtua.

“Saya harapkan agar pihak Keuskupan Larantuka turun ke paroki-paroki untuk memberikan pemahaman tentang apa sesungguhnya peran orang muda Katolik ke depan. Itu salah satu tugas penting yang mesti dilakukan keuskupan. Jangan sampai peran Mudika makin mengendor di saat paroki membutuhkan peran Mudika,” kata koster kelahiran, 15 Maret 1951 ini.
Sumber: Mingguan Flores Pos Jakarta edisi 19-26 Desember 2007
Ket foto: Nikodemus Langin Wuwur