Minggu, 24 Juli 2011

Budpar RI Sosialisasi PNPM Wisata di Lembata


Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Republik Indonesia (RI) melalui konsultannya dari Pusat Studi Pariwisata Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, akan melakukan kegiatan rembuk warga guna mensosialisasikan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri bidang pariwisata di dua desa di Kabupaten Lembata. Kegiatan itu dilakukan selama dua hari yakni Jumat-Sabtu (21-22/7/2011).

“Konsultan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI sudah tiba di Lewoleba. Namanya, Pak Desta Titi Raharjana,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lembata, Wens Pukan, ketika dihubungi Pos Kupang dari Kupang, Kamis (21/7 2011).

Dikatakan, pada hari Kamis,  kegiatan rembuk warga dilangsungkan di Desa Belabaja, Kecamatan Nagawutun. Kemudian pada hari kedua di Desa Lamalera A, Kecamatan Wulandoni.

Menurut Wens, rembuk desa bertujuan mensosialisasikan manfaat PNPM Mandiri bidang pariwisata kepada masyarakat, kelompok, dan para pemangku kepentingan atau stakeholder. “Kita harapkan agar masyarakat, pemerintah desa, tokoh adat dan pendidikan, tokoh masyarakat, seniman, dan semua pihak bisa menghadiri kegiatan rembuk desa,” kata Wens.
Kepala Sub Bagian Perencanaan Program Dinas Pariwisata Lembata Dionisius Ola Wutun, S.E, menambahkan, kegiatan rembuk desa di Belabaja dan Lamalera A juga melihat sejauhamana kesiapan masyarakat menyambut kebijakan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI dalam memberdayakan masyarakat yang sadar terhadap pariwisata, seni dan budaya.

“Dalam pertemuan ini akan dibicarakan juga hal-hal teknis yang harus disiapkan masyarakat dan apara desa,” kata Dion dari Lewoleba, Rabu (20/7/2011). Ditambahkan, dalam kegiatan itu hadir fasilitator PNPM Mandiri Desa Belabaja,  Hieronimus Ksakel Klobor, S.E, dan fasilitator PNPM Mandiri Wisata Desa Lamalera A, John Oleona, S.H.

Pembahasan Bersama

Anggota Komisi X DPR RI asal NTT, Dr. Jefri Riwu Kore, mengemukakan, Desa Belabaja dan Lamalera A merupakan dua dari dua puluh enam desa di NTT yang mendapat bantuan langsung masyarakat atau bantuan desa wisata. Masing-masing desa mendapat alokasi dana sebanyak Rp 70-100 juta dengan total bantuan sebesar Rp 2,03 miliar.

“Bantuan ini merupakan hasil pembahasan bersama Komisi X DPR RI dan telah ditetapkan berdasarkan keputusan Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata tanggal 1 Februari 2011 lalu,” ujar Jefri Kore melalui telepon dari Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (20/7/2011).
Sebelumnya, menurut Dirjen Pengembangan Destinasi Wisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Ir. Firmansyah Rahim, sejak dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2007, setiap kementerian meluncurkan PNPM sektoral masing-masing.

Kementerian Kebudayaan dan Periwisata mengintegrasikan menjadi program PNPM Mandiri Parisiwata. Misinya, memberdayakan masyarakat, terutama warga kurang mampu di wilayah sekitar destinasi wisata atau desa-desa wisata di seluruh Indonesia.

Menurut Firmansyah, pada 2011 PNPM Mandiri Pariwisata sudah menjangkau 569 desa di 33 propinsi, dan program ini masih akan terus berlanjut.

“Untuk lebih menggerakkan usaha masyarakat di bidang pariwisata, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata juga bekerja sama dengan BRI dengan memberikan fasilitas pembiayaan melalui paket KUR (kredit usaha rakyat) yang dimulai pada tahun 2011 ini,” kata Firmansyah.
 Sumber: Pos Kupang, 22 Juli 2011
Ket foto: Cahyo Adjie, wartawan EVENGUIDE Jakarta berpose di depan kantor Desa Belabaja di sela-sela tugas jurnalistiknya di Lembata, Maret-April 2010 (gbr 1).

Salah satu sudut desa (gbr 2) dan para penari Sanggar Lima Lia bersiap menyambut para tamu dari Lewoleba, kota Kabupaten Lembata (gbr 3).
Foto-foto: dok. Ansel Deri

Senin, 30 Mei 2011

Pak Andreas Ua Asan dan Kelompok Tarulaga

Suatu hari di rembang malam di tahun 2005. Tanggal dan bulan saya lupa. Pertemuan itu sungguh mengesankan, meski cuma beberapa saat. Seorang tetua. Namanya Bapak Andereas Ua Asan. Pria yang sudah berusia sekitar 60 tahun ini masih terlihat segar bugar. Tubuhnya masih gempal. Berotot.

Wajahnya lebih muda dari usianya. Mungkin karena aktivitasnya sebagai petani di kampung, menjaga kesehatan jiwa dan raga serta menikmati kehidupan apa adanya.

Pertemuan itu mengesankan karena sudah lama kami tak jumpa. Meski kampung kami bertetangga, antarkami saling mengenal secara baik. Di masa kecil itu Pak Ande sering ke kampung karena ia seorang tukang kayu. Dari sanalah saya mengenalnya secara baik.

Awal pertemuan kami, Pak Ande bercerita banyak tentang kondisi di kampung. Ia mengatakan bahwa apa yang disebut perubahan itu sudah merambah ke kampungnya dan kampung saya.

"No, sekarang sudah banyak perubahan. Tiap hari oto (truk yang dimodifikasi menjadi angkutan penumpang) dari Lewoleba masuk (mengambil trayek) ke kampung. Orang sudah tak jalan kaki lagi ke Lewoleba," kisah Pak Ande Asan dengan antusias. 


Kisah "jalan kaki" ini sungguh mengingatkan saya dan siapa pun dari wilayah itu. Di masa itu mau tidak mau kami harus berjalan kaki sehari penuh ke Lewoleba, ibukota Kabupaten Lembata. Jaraknya cuma 35 kilometer, namun terkendala topografi wilayah berbukit-bukit dan medan yang curam. 

Belum lagi terkendala hujan dan banjir sepanjang jalan yang masih rintisan itu. Ada beberapa kali besar seperti Paugwali dan Waikomo yang harus kami lewati. Bila banjir datang, maka kami harus menunggu berjam-jam hingga reda. Tak ada pilihan memang. Kalaupun ada mobil, muatannya terbatas karena cuma satu atau dua unit yang mengambil trayek beberapa hari sekali.

Lelaki ini dalam perjalanan dari kampungnya Belabaja, Kecamatan Nagawutun, Lembata, menuju salah satu kota propinsi di Pulau Sumatera. Pak Ande bukan jalan sendirian. Ia diundang khusus LSM LAP Timoris untuk memberikan testimoni-nya seputar cara melestarikan alam yang selama ini ia lakukan. Hampir sepuluh tahun, LSM ini menaruh minat tak kecil seputar kelestarian alam di Lembata.

Di Sumatera ia akan bercerita seputar upaya Kelompok Tarulaga menjaga hutan dari gempuran api. Pak Ande pun berjanji setelah kembali akan menceritakan pengalaman unik nan menarik itu. Tapi, kami tak jumpa lagi hingga kini.

Sudah sekitar 30 tahun ini Pak Ande bersama anggota kelompok Tarulaga menyelamatkan ratusan bahkan ribuan hektar hutan di sekitar kaki Gunung Labalekan itu.

Kelompok ini dibentuk atas inisiatif sendiri. Bukan pula atas pesan sponsor. Bukan pula upaya mencari popularitas murahan untuk meraih sesuatu. Bukan pula ingin mendapat kucuran dana dari donatur atau pemerintah. Rasanya jauh dari spekulasi ini!

Yang ada adalah rasa cinta terhadap kampung halamannya.Yang ada adalah bagaimana ia membangun Kampung Belabaja dengan caranya.

Sehari-hari Pak Ande me-manage anggota kelompoknya ini untuk terus memantau "serbuan" api. Bila ada titik api, maka mereka segera ke lokasi untuk memadamkan api (rot ap). Atau membuat ilaran api agar tak merambah lebih luas lagi.

Ada begitu banyak kesulitan yang dialami Kelompok Tarulaga ini. Lahan yang luas itu tentu membuat mereka kesulitan dari segi personel dan kendala-kendala teknis lapangan lainnya. 


Dengan kondisi ini Pak Ande sudah tentu berkoordinasi dengan aparat desa dan masyarakat lain. Tapi belum banyak warga yang terpanggil. Ini soal keikhlasan hati meluangkan waktu.

Pak Ande bercerita bahwa orang-orang di kampung itu sering membakar lahan karena beberapa alasan. Pertama, untuk mendapat pakan ternak. Kedua, faktor kesengajaan, dan ketiga, karena maniak api.

Menurut Pak Ande, hal terakhir ini menjadi kebiasaan hampir semua penduduk di tanah Lembata yang merasa gembira tatkala melihat api "menjilat-jilat" lahan. Ketika api mulai merambah hutan, warga menunjukkan ekspresinya dengan berloncat-loncat kegirangan.


Sebuah ekspresi kegembiraan yang aneh. Menjadi sebuah ironi zaman. Sesuatu yang tak berbudaya ketika isu pemanasan global (global warming) menjadi topik bahasan di semua level kehidupan. Mudah-mudahan perilaku nyeleneh ini sudah perlahan berkurang.

Pak Ande mengatakan bahwa perlahan masyarakat mulai menyadari ikhwal pelestarian alam.

Kini sudah sekitar tiga dekade ini Pak Ande dan Kelompok Tarulaga "memproklamirkan" diri sebagai relawan alam. Sudah tiga puluh tahun ini, ketika isu pemanasan global masih menjadi topik diskusi pada kalangan terbatas, Pak Ande bersama anggota kelompoknya menunjukkan keberpihakan pada kelestarian alam secara serius.

Karena itu, kita patut menyampaikan penghargaan yang tinggi atas perjuangan, keuletan, kegigihan, dedikasi serta keberpihakan kelompok ini terhadap kelestarian alam di kaki gunung tertinggi di Lembata itu. Pak Ande dan Kelompok Tarulaga patut menjadi ikon isu pemanasan global. (Paul Burin)
Sumber: Pos Kupang, 19 September 2009
Ket foto: Andreas Ua Assan
Foto: dok. www.ansel-boto.blogspot.com

Selasa, 22 Maret 2011

Joseph Enga Alior, Terinspirasi ‘Si Burung Merak’ WS Rendra

Saban hari ia hidup di tengah ladang. Satu tugas lagi ia emban yakni sebagai Sekretaris Desa Belabaja, Nagawutun. Tapi di balik itu ia menyimpan potensi sebagai penyair. Sejumlah karya sastra berupa puisi dan drama tercipta dari tangannya.

Kluang hanya sebuah dusun kecil di kaki Gunung Labalekan, Desa Belabaja, Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Desa ini merupakan pemekaran dari desa induk, Labalimut.

Di sinilah sehari-hari Joseph Enga Alior menghabiskan hari-harinya bersama isteri, Rosalia Barek de Ona serta anak-anaknya Harto, Elisa Pute, Mardin, dan Pius Guma Topo.

Membersihkan kebun, memberi makan ternak, dan merawat tanaman niaga adalah rutinitasnya sebagai petani. Selain itu, ia masih mengabdikan diri sebagai sekretaris desa (sekdes) mendampingi Kepala Desa Paulus Genere Pattyona.

Berpuisi

Yos, begitu ia disapa, juga ternyata jago menciptakan puisi yang bisa dibacakan atau dilombakan. Ia juga bisa mengarang naskah drama untuk dipentaskan muda-mudi Katolik (Mudika) Paroki Boto di setiap stasi. Bersama istrinya, mereka kadang ikut sebagai pemerannya.

Jiwa bersastra ternyata sudah tertanam sejak kecil saat ia akrab dengan buku-buku sastra. Saat duduk di bangku SMA Kawula Karya Lewoleba, Lembata, kegemaran ini pun terus ia mantapkan.

Saat itu Yos berhasil menulis tiga drama: Banjir Dara di Lembah Argoni, Badai Perjalanan, dan Mawar Untuk Ibu. Ketiga dirampungkan dengan mudah karena ia sudah terbiasa menulis cerita pendek (cerpen).

“Saya membuat coretan-coretan kemudian merevisinya untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan punya nilai seni,” katanya. Kemampuan itu mengantarnya masuk sebagai staf redaksi Genta Kawula, majalah dinding sekolahnya.

Talenta yang dimilikinya terus dikembangkan selepas SMA. Yos malah makin memantapkan hobinya itu. Puisi yang ia tulis antara lain Untukmu Pahlawanku, Rintihan dari Suara Tak Bersuara, Cintaku Guruku, Suara, Buatmu Kasihku, Dalam Malam, dan Di Makam Ibu.

Begitu juga naskah cerpennya seperti Saat Senja Merapat dimuat Surat Kabar Mingguan (SKM) Sinar Pagi Minggu terbitan Jakarta. Cerpen ini, menurut Yos, melukiskan kisah cinta sepasang remaja dengan latar belakang Pantai Lewoleba, kota Kabupaten Lembata.

“Honor naskah cerpen ini Rp. 5.000. Teman-teman ketua RT dan RW menertawakan saya karena hanya dihadiai honor sebesar itu. Bagi saya tak ada masalah. Malah saya bangga karena cerpen seorang petani mendapat pengakuan kemudian dimuat,” katanya.

Sementara itu sejumlah naskah drama ia tulis berhasil dipentaskan oleh kelompok muda mudi Katolik (Mudika) Stasi Boto ke berbagai stasi di Paroki Boto seperti Puor, Atawai, Imulolong, Posiwatu dan sejumlah stasi di Paroki Mingar seperti Idalolong, Dekanat Lembata, Keuskupan Larantuka.

Tiga drama Banjir Dara dan Air Mata, Rintihan Anak Jalanan, dan Mawar Untukmu Ibu hasil karyanya dipentaskan mudika. Ia dan istrinya terlibat. “Dalam drama ini saya bertindak selaku sutradara sedangkan istri saya sebagai pemeran utama,” kenang Yos.

Kegigihan menggeluti puisi dan drama mengantar Yos meraih juara pertama lomba baca puisi tingkat kecamatan. Ia juga pernah keluar sebagai juara satu lomba baca Alkitab tingkat kabupaten pada perayaan HUT ke-3 Otonomi Daerah (Otda) Kabupaten Lembata di Lewoleba.

Komentator

Kemampuan putera pasangan Karolus Ketoj Alior dan Elisabeth Pute Tufaona ini tak sebatas itu. Ia juga termasuk komentator handal dalam berbagai even pertandingan bola kaki tingkat kecamatan.

Bahkan suara baritonnya mampu menghipnotis pentonton pertandingan bola kaki. Konsistensi di dunia tulis-menulis membuka cakrawala sang kades tentang makna karya sastra. Baginya, sastra itu sebuah dunia yang otonom, tak terikat. Ia hadir berdasarkan pengalaman.

“Penyair Libanon Khalil Gibran telah mengajarkan saya tentang kata-kata. ‘Aku ingin mengucapkan satu-dua patah kata yang hendak kuamanatkan sekarang. Namun, apabila ajal mencegahnya, amanat itu akan terucapkan Esok karena Esok tak kan menghilangkan sebuah rahasia pun dalam buku Keabadian.’ Begitu kata-kata Gibran dalam Sang Guru. Ini memantapkan saya dalam bersastra,” katanya.

Ternyata kemampuan menulis puisi dan mengarang naskah drama itu juga terinspirasi oleh seniman besar WS Rendra. Saat tinggal di Jakarta, ia sempat menyaksikan sastrawan dengan julukan Si Burung Merak, tampil membacakan puisi-puisinya di Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

“Beberapa kali saya sempat menonton Rendra tampil. Dari penyair besar ini saya banyak belajar bagaimana menciptakan puisi. Bagi saya Rendra adalah teks hidup. Ia menjadi kiblat dalam bersastra. Nah, kami di desa juga butuh mengeksplorasi jiwa seni kami meskipun dalam bentuk yang sederhana,” katanya.
Sumber: www.ansel-boto.blogspot.com
Ket foto: Joseph Enga Alior

Kamis, 10 Maret 2011

Panorama Alam Desa Belabaja, Nagawutun, Lembata

Salah satu sisi keindahan alam Desa Belabaja, Kecamatan Nagwutun, Kabupaten Lembata, NTT, yang diabadikan Ansel Deri, anak kampung Kluang Desa Belabaja pada Maret 2010 lalu.  Ia bersama rekannya, wartawan EVENGUIDE Cahyo Adji berkesempatan mampir di Belabaja sebelum melakukan tugas jurnalistik di Lamalera.

Ansel Deri, kini menetap di Jakarta dan bekerja membantu Pak Diaz Gwijangge, S.Sos sebagai Tenaga Ahli (A-558) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Sebelumnya, ia melakoni profesi wartawan di beberapa media terbitan Ibu Kota sebelum akhirnya masuk Gedung DPR/MPR Senayan Jakarta pada Oktober 2009.

Ansel, begitu ia disapa, menghabiskan masa kecilnya di kampung Kluang, Desa Belabaja (Boto). Pendidikan sekolah dasar hingga sekolah lanjutan pertama dilalui di SDK St Joseph Boto dan SMP Lamaholot Boto. Kuliah pada FKIP Undana Kupang tahun 1998.

Perjalanan jurnalistik di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk ke Lembata, membawa oleh-oleh hasil jepretan kameranya menghiasi akun facebook-nya. Termasuk gambar panorama alam desa Belabaja di atas. Gambar itu diabadikan di depan kantor desa Belabaja. (Joseph Enga Alior)


Rabu, 09 Maret 2011

Pemilu Kada Lembata dan Netralitas PNS

Oleh Bonne Pukan
Anak Lembata, tinggal di Penfui Kupang

"YTH. Anggota KPU dan Panwaslu Lembata. Tolong netral dalam Pemilu Kada Lembata. Atau Anda juga sama dengan birokrasi Lembata yang bekerja untuk paket tertentu? Ya, kita pilih pemimpin, bukan penguasa. Sebenarnya KPU dan Panwaslu juga tahu kalau mesin politik paket tertentu adalah birokrat yang bekerja secara sistematis. Sudah menjadi rahasia umum kalau kerja para PNS atau birokrat hanya untuk mengamankan mata rantai kedudukan mereka sekarang. Sayang, jangan kita hancurkan Lembata untuk kepentingan sesaat. Tetapi berkipralah ke semua rakyat secara obyektif. Tolong tindak tegas semua pejabat atau PNS yang berpolitik praktis atas nama paket tertentu. Tks."

Saya sengaja mengutip lengkap sebuah curhat yang dikirim pembaca setia Pos Kupang pada edisi, Rabu (23/2/2011), di awal tulisan saya ini. Curhat itu ternyata sarat makna karena pasti pengirim curhat sudah tahu gerak langkah sesama warga Lembata, baik masyarakat biasa maupun masyarakat Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Lembata dalam kaitan dengan proses pemilu kada yang sedang dimulai ini.

Orang Lembata tentu tahu betul, siapa saja pejabat dan PNS non pejabat yang getol sekali berjuang untuk paket tertentu. Dan orang Lembata juga tahu paket mana yang sedang diperjuangkan jajaran birokrat di Lembata. Bisa saja demi pengamanan diri dan jabatan pasca berakhirnya masa jabatan Drs. Andreas Duli Manuk dan Drs. Andreas Nula Liliweri pada tanggal 4 Agustus 2011 mendatang.

Ceritera berbagai pihak di Lembata, ternyata apa yang disampaikan pengirim curhat itu bukan hanya isu semata, tetapi memang demikian adanya. Di beberapa desa di Lembata, sudah sejak tahun lalu beberapa PNS dan pejabat birokrat berseliweran di sana untuk meminta dukungan bagi paket tertentu.

Ketika KPU Lembata membuka pendaftaran pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Lembata periode 2011-2016 sejak tanggal 9 hingga 15 Februari 2011, sedikitnya sebelas paket yang memanfaatkan kesempatan tersebut. Sebelas paket itu adalah Yohanes Lake-Simon Krova (JONSON), Antanasius Amuntoda-Bernadus Boli Hipir (SINAR), Herman Wutun-Viktus Murin (TITEN), Bediona Philipus-Fredy Wahon (LIRIK KUSPLUS), Lukas Witak-Muhidin Ishak (KASIH), Gabriel Tobi Sona-Gerardi Tukan (TITE HENA), Eliaser Yance Sunur-Viktor Mado Watun (LEMBATA BARU), Andreas Liliweri-Yoseph Meran (AYO), Frans Making-Usman Syarif (FIRMAN), Paulus Doni Ruing-Paulus Mujeng (PAPA NIMUN) dan Petrus Langoday-Ahmad Bumi (PETANI).

Dari kesebelas paket itu dua paket, masing-masing KASIH dan TITE HENA mendaftar melalui pintu independen, sedangkan sembilan paket lainnya melalui pintu partai politik, baik ber-seat maupun non seat.

Kalkulasi politik tentang peluang bagi paket-paket yang akan lolos menjadi paket definitif untuk sementara baru dua paket yakni Paket TITEN dan paket LEMBATA BARU. Pasalnya dua paket ini diusung oleh parpol yang sudah memenuhi syarat tanpa harus berkoalisi dengan partai lainnya. Paket TITEN diusung Partai Golkar dan Paket LEMBATA BARU diusung PDI Perjuangan yang masing-masingnya sudah memenuhi syarat maksimal 15 persen untuk mengajukan calon sendiri tanpa harus berkoalisi dengan parpol lainnya.

Sementara paket-paket lainnya masih harus bekerja keras untuk mempersatukan perjuangan berkoalisi dengan parpol lainnya. Dan itu menjadi tugas KPU Lembata ketika memverifikasi dukungan parpol pengusung mulai dari keputusan parpol masing-masing untuk berkoalisi mendukung paket tertentu hingga kesepakatan berkoalisi.

Mengaitkan dengan curhat di atas, sebuah pertanyaan akan muncul. Peran yang dimainkan birokrat dengan bekerja serius itu, arahnya ke figur yang mana? Jawabannya mudah saja. Kita akan mulai mengurut kacang siapa birokrat yang akan maju dalam pertarungan politik lima tahunan ini.

Kita akan mulai dari Paket AYO. Calon bupatinya adalah wakil bupati sekarang, Drs. Andreas Nula Liliweri. Berikutnya paket Antanasius Amuntoda-Bernadus Boli Hipir, keduanya masih PNS aktif dan pejabat di Lembata. Amuntoda salah satu staf ahli di Pemkab Lembata dan Boli Hipir adalah Asisten II Setda Lembata.

Lainnya Lukas Witak-Muhidin Ishak. Lukas masih menjabat Asisten III Setda Lembata, dan Muhidin mantan Asisten III yang sudah pensiun, serta Paulus Mudjeng yang kini menjadi salah satu pejabat di Dinas PU Kabupaten Lembata.

Jika hal yang dilakukan para pejabat itu untuk mengamankan posisi mereka seperti yang disampaikan pengirim curhat tersebut, maka pemikiran para pejabat itu ternyata sangat kerdil. Pasalnya, untuk menduduki sebuah jabatan di birokrasi, seorang birokrat diangkat berdasarkan kemampuan didukung dengan kepangkatan atau golongan.

Pertayaan lain yang muncul, mengapa para pejabat itu harus takut tergeser jika muncul pemimpin baru? Jawabannya akan beragam. Misalnya jabatan yang diperoleh selama ini bukan karena kemampuan didukung dengan golongan/pangkat yang melalui pertimbangan baperjakat, tetapi karena faktor kedekatan disertai dengan kepiawaian 'berhamba' pada sang tuan.

Jika seorang PNS dengan niat sungguh memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai bidang tugasnya masing-masing dan menjalankan tugas pelayanan itu dengan sungguh-sungguh, maka jabatan di lingkup birokrasi pasti akan diperolehnya. Beda dengan PNS yang suka berhamba, mencium tangan sang tuan berulang-ulang kali sambil membuang puntung rokok dalam asbak yang sudah penuh sambil berjalan tunduk hingga nyaris mencium lututnya sendiri, serta menjilat ke atas, ke bawah dan ke samping kiri dan kanan.

Siapa yang Tereliminir

Setelah pendaftaran pasangan bakal calon bupati dan Wakil Bupati Lembata, sebelas pasang itu kemudian melakukan pemeriksaan kesehatan di RSUD Prof. WZ Johannes Kupang pertengahan Februari lalu. RSU milik Pemerintah Propinsi NTT dipilih KPU Lembata sebagai tempat pemeriksaan kesehatan bersama tim dokternya.

Usai pemeriksaan, terbetik kabar, ada bakal calon entah bupati atau wakil bupati yang bakal kandas karena hasil pemeriksaan kesehatan menunjukkan tidak cukup sehat alias tidak memenuhi syarat dari segi kesehatan untuk menjadi calon bupati atau wakil bupati. Lalu ada upaya untuk melalukan pemeriksaan ulang di rumah sakit lain sebagai bahan pembanding atas pemeriksaan di RSUD Kupang.

Kabar burung itu ternyata mendekati kebenaran, ketika Juru bicara KPU Lembata, Satria Betekeneng, menegaskan, pemeriksaan kesehatan terhadap bakal calon bupati dan wakil bupati hanya satu kali dan bersifat final. Artinya tidak ada pemeriksaan kedua, apalagi pemeriksaan di tempat lain untuk dijadikan sebagai bahan pembanding (Pos Kupang, Selasa, 1/3/2011).

Penegasan Betekeneng itu sontak membuka tabir kebenaran kabar burung tersebut. Masyarakat Lembata, terutama tim-tim sukses pasangan calon yang tidak lolos pemeriksaan kesehatan itu mulai ketar ketir. Lebih parah lagi kalau tim sukses itu ada yang PNS dan pejabat, yang selama ini sudah berani 'jual tampang' dari desa ke desa dan bukan rahasia lagi bagi masyarakat Lembata.

Itu baru pemeriksaan kesehatan. KPU Lembata sudah menjadwalkan akan mengumumkan dan menetapkan paket calon di penghujung Maret ini. Bisa saja ada yang gugur. Gugurnya pasangan calon itu antara lain tidak memenuhi syarat seperti yang digariskan peraturan perundang-undangan.

Rasa cemas juga mulai menghantui pasangan calon lain, terutama pasangan yang diusulkan oleh gabungan partai politik. Bagi Partai Golkar (Paket TITEN) dan PDI Perjuangan (Paket LEMBATA BARU), jalan terbuka menuju calon tetap sudah terbuka lebar karena tidak berkoalisi. Kedua parpol ini sudah memenuhi batas minimal 15 persen perolehan suara pada pemilu legislatif 2009 lalu, karena masing-masing parpol ini memiliki 4 kursi legislatif.

Berada di urutan berikutnya, paket yang juga diprediksikan tidak menemui hambatan dalam koalisi adalah paket SINAR yang diusung PPDI dan PAN, paket JONSON yang diusung PKB dan PDK serta paket AYO yang didukung Demokrat, PKS dan PBR. Ketiga paket ini juga hampir pasti lolos karena koalisi parpol itu jelas, namun belum tentu karena bisa saja terjadi pendobelan dukungan dari parpol.

Paket lainnya seperti LIRIK KUSPLUS, FIRMAN, PAPA NIMUN dan PETANI kini terus berdoa semoga tidak ada 'pengkhianatan' dalam memberikan dukungan. Sebab, bahaya yang paling ditakuti adalah ada parpol yang bermain ganda, artinya memberikan dukungan kepada beberapa paket.

Namun semuanya ini kembali kepada penyelenggaran Pemilu Kada Lembata yakni KPU Lembata. Mereka akan bermain di jalur yang benar, karena tidak ingin terjerembab dalam kasus yang dialami di kabupaten tetangga, Flotim yang hingga kini masih terkatung-katung karena 'salah urus'.

Masyarakat Lembata tentu berharap, semua yang berkaitan dengan pemilu kada di Lembata harus dilakukan sesuai aturan hukum yang ada. Rekayasa hendaknya dijauhkan jika ingin menghasilkan pemimpin Lembata lima tahun ke depan yang lebih baik dari sebelumnya.

Harapan masyarakat kini sedang berada di pundak KPU Lembata yang dikomandani Wilhelmus Panda. Kita tunggu, paket mana yang lolos untuk berperang, dan pada akhirnya paket mana yang akan dipercayakan Tuhan dan Lewotana untuk memimpin daerah ini. Bermain di ranah politik lima tahunan ini, masyarakat sudah sangat pintar. Mereka tentu menginginkan pemimpin yang mampu, jujur dan mampu membawa perubahan untuk mereka dan daerah mereka.
Sumber: Pos Kupang, 9 Maret 2011

Rabu, 02 Maret 2011

Misa Syukur 25 Tahun: ‘Perang’ Menyambut Sang Jubilaris

Ratusan umat Paroki St Joseph Boto, Lembata, Keuskupan Larantuka, NTT, tumpah di beranda kampung Boto, Sabtu, 3 Juli 2010. Mereka menyambut Pastor Petrus Payong, SVD untuk merayakan Misa Syukur 25 Tahun Imamat.

Pada sore yang cerah itu, ratusan umat sudah memadati kampung di lereng Gunung Labalekan dalam balutan panorama alam dan udara pegunungan yang sejuk. Mereka datang dari berbagai stasi seperti Puor, Imulolong, Posiwatu, Atawai, Liwulagang, Lamalewar, Bata, dan Belame di selatan Pulau Lembata.

Saat itu, jubilaris disambut dengan hedung, tari perang khas Adonara dan urulele serta namang –tari tradisional. Dua bersaudara: Korfandus Boge Ketoj dan Blasius Wurin Ketoj bersama tim penari menyuguhkan gerak yang indah.

Sembari berjalan kaki, mereka bergerak menuju gereja. Di tengah jalan, Pater Piet sejenak berdoa di kompleks pemakaman umum di pinggir kampung.

Pada Minggu, (4/7), Pater Piet mempersembahkan Misa bertema Syukur Atas Kasih Setia dan Karya Agung Allah. Tampil sebagai selebran utama, ia didampingi 12 imam. Antara lain Sinyo da Gomez, Pr, Piet Dua Maing, Pr, Yohanes Prasong, SVD, Florianus Faor Wujon, Pr, Patrisius Breket Mudaj, SSCC, Tarsisius Tupeng, Pr, Pastor Kristo, SVD, Stefanus Smata Pukan, SVD, Ignasius Ledot Kobun, SVD, Karolus Emi Wadan, SVD, Robertus Laga Manu Sakeng, Pr, dan lain-lain.

Sejumlah suster, bruder, dan frater juga ambil bagian dalam Misa. Antara lain, Sr Maria Theresiani, SND, Sr Maria Sipriana, PRR, Sr Maria Goreti Kobun, SSpS, Sr Erenberta de Ona, SSpS, Br Dominikus Doron Botoor, SVD, Fr Niko Lamak, CMM, dan sejumlah frater lain.
Imam Abadi

Dalam kotbahnya, Pastor Yohanes Prasong, SVD mengemukakan, kehadiran umat dalam Misa ini bertujuan mengucap syukur kepada Tuhan selama 25 tahun pengabdian Pater Piet Payong, SVD sebagai imam.

“Kita bergembira, berpesta sekaligus bersyukur atas kesetiaan Tuhan yang dilimpahkan kepada Pater Pieter sebagai imam selama 25 tahun. Tema yang mau kita renungkan adalah engkaulah imam untuk selamanya. Imam sampai kekal, sampai keabadian seperti Kristus,” ujar Pater Yan Prasong, sapaan akrab Pastor Yohanes Prasong, SVD.

Ia meminta agar dalam Misa, umat juga berdoa agar pengabdian itu tidak hanya sampai 50 tahun tetapi sampai kekal. Jika dikaitkan 2010 sebagai Tahun Imam, kita kembali melihat identitas seorang imam. Siapa itu imam dan apa tugas-tugasnya.
“Seorang imam mengambil bagian dalam Imamat Kristus yang satu-satunya. Imam yang benar adalah Kristus sendiri. Sedangkan yang lainnya adalah pelayan. Kurban yang benar adalah satu yaitu kurban Kristus di Salib,” kata Pater Yan.

Sekalipun kurban Kristus adalah unik, yang dilaksanakan hanya satu kali dan untuk selamanya namun kehadirannya ada pada setiap kurban ekaristi gereja. Demikian pula berlaku, imamat Kristus adalah imamat yang satu-satunya namun dihadirkan pula oleh imamat jabatan tanpa menghilangkan keunikan imamat Kristus.

Karena itulah, imamat Kristus yang benar dan yang lain adalah pelayannya (Ibrani: 7:4). Maka seorang imam adalah dalam beberapa poin berikut. Seorang imam tampil sebagai pelayan atas nama Kristus sebagai kepala tubuh mistik Kristus.

Di sela-sela Misa, Pater Piet membaharui diri dan mengungkapkan janji imamat serta kaul-kaul kebiaraan. “Di hadapan Tuhan dan umat sekalian yang hadir saya, Pastor Petrus Payong, SVD memutuskan dengan mantap untuk membaktikan seluruh hidup saya untuk Allah dan mengikuti Yesus Kristus, Sang Imam Abadi dan misionaris Bapa dengan mengabdi gereja-Nya yang Kudus dalam bentuk kehidupan menurut Injil,” ujarnya.

Pater Piet Payong SVD mengenyam pendidikan SD–SMP di Lembata. Ia kemudian menyelesaikan studi pada STFK Ledalero, Maumere, Flores. Pada 1 Juni 1985, ditahbiskan menjadi imam di Gereja St Maria dari Kanak-Kanak Yesus Kiwangona, Adonara. Motto tahbisan diambil dari Injil Lukas Pasal 21:19, “…..Ikutilah Aku….

Setelah ditahbiskan, ia diutus sebagai misionaris di Mindanao, Filipina. Saat merayakan Misa Syukur Imamat, ia menjabat Pastor Paroki St Maria Parish, Trenyo, Agusan del Sur, Filipina
Sumber: HATI BARU edisi Oktober 2010
Ket foto: Korfandus Boge Ketoj dan para penari (gbr 1) menyambut Pastor Piet Payong SVD
(gbr 2) dan ayahnya, Fransiskus Ola Ebang di gerbang masuk Boto.

Sosok Bersahaja Dua Petani di Kluang

Ini adalah sosok petani Petrus Samong Mudaj dan Wilhelmus Pati Mudaj. Saban hari mereka selalu mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi baik dalam keluarga maupun di komunitas sukunya di kampung Kluang, Desa Belabaja (Boto), Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur.

Dalam menghadapi masalah suku, keduanya tak sekadar bicara. Mereka juga kut memikirkan jalan keluar terbaik bagi komunitas sukunya.


Dulu, dalam urusan di komunitas sukunya kedua orang ini selalu didengar pikirannya. Karena itu, segala urusan di dalam komunitas suku berjalan lancar.

Petrus Samong menikah dengan Ibu Maria Ose Klobor. Keduanya dikaruniai sembilan anak dan 14 cucu. Dua dari sembilan anaknya bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Lembata.

Ibu Maria berasal dari Dusun Belabaja (masih di Boto). Ia adalah putri sulung Hilarius Paty Klobor dan Ana Lepang Paty Atawua. Keduanya sudah lama menghadap Sang Khalik.
Sedangkan sosok Wilhelmus Pati Ago Mudaj menikah dengan Ursula Erin Pattyona (alm). Mereka diaruniai seorang anak: Mateus Bala Mudaj dan tiga cucu: Rini, Ago, dan Miki. Nene Sula, begitu kami menyapa, berasal dari Desa Puor, Kecamatan Wulandoni.

Namun, kabar mengejutkan saya terima akhir Desember 2009 lalu. Tepatnya pada 26 Desember Wilhelmus Pati meninggal dunia. Ia menyusul Ursula Erin Pattyona, sang istri yang telah meninggal dunia.
Ket foto: Petrus Samong Mudaj dan (alm) Wilhelmus Pati Mudaj di dusun Kluang, Desa Belabaja, Lembata, NTT.